Pejuang - pejuang itu...

Minggu, 07 Maret 2010 21.08 by Sinta_Fabriela
Aku pernah melihat raut wajah seorang pejuang, yang tatapan matanya penuh cita-cita untuk terus memberikan yang terbaik pada orang lain. Mereka adalah orang-orang yang dirindukan dan yang dibutuhkan kehadirannya. Hingga selepas hidupnya pun tetap dikenang. Salah satu yang akan kukisahkan adalah almarhum Pakde (beserta keluarganya) yang beliau adalah sepupu dari ibuku. Keluarga Pakde hidup bersahaja dan oleh karenanya termasuk menjadi panutan masyarakat. Aku yang sudah tidak punya kakek dan nenek merasa mendapat kasih sayang dari Pakde dan Budhe seperti dari sepasang kakek dan nenek sendiri. Mungkin karena usia mereka yang sudah kepala 6. Dan aku yang tidak punya kakak (karena anak pertama) merasa punya kakak dari putra-putri Pakde. Indah rasanya.

Semasa hidupnya, Pakde dan Budhe banyak memberi manfaat untuk warga disekitarnya. Salah satunya yaitu mengajar ngaji anak-anak kecil selepas maghrib dirumahnya. Biasanya Pakde, Budhe, adiknya Budhe (saat blm menikah), dan putra-putri Pakde-lah yang mengajar. Tp ya fleksibel dan gantian, klo putra-putri Pakde sdh plg dr kantor mereka baru bisa membantu. Aku yang beberapa kali mampir setelah pulang kuliah juga diminta membantu mengajar ngaji. Wah rame banget, ternyata susah ngajari anak2 ttg tajwid dan makhroj yg benar, lha hurufnya saja mereka masih suka lupa, hehe. Ya jelas lah ya orang msh kecil2. Eh tapi ada juga anak kls 3 SD yang cepat daya tangkapnya.

Pakde dan Budhe juga mulai merintis pengajian untuk ibu-ibu sekitar rumahnya. Disana blm terbentuk organisasi ibu-ibu pengajian seperti di perumahan2 yang pendidikan warganya tinggi2. Anak-anakanya tidak semua diajari mengaji, bisa jadi karena orang tuanya tidak semuanya bs mengaji atau karena kurang ‘bersemangat’ membekali anak2nya ttg ilmu agama. Bahkan ada yg sampai kena korban kristenisasi. Tp Alhamdulillah klo keluarga Pakde termasuk keluarga yg taat beragama dan beliau berhasil menyekolahkan ke3 anaknya sampai ke perguruan tinggi.

Pakdhe dan Budhe yg keduanya berasal dr Magelang dan termasuk pendatang di Semarang harus pelan2 menyesuaikan budaya dilingkungan barunya. Pengajian ibu-ibu sepekan sekali itu baru bisa dilakukan dirumah Budhe, terus dilakukan dirumah Budhe. Sehingga yang membuat aku salut yaitu beliau dengan telatennya mengagendakan, menjemput bola dan mengikhlaskan untuk memberi suguhan tiap pekannya. Jadi ibu-ibu yg datang tidak merasa terbebani jika suatu ketika harus digilir dirumahnya dan mengeluarkan biaya untuk menjamu tamu. Sedangkan untuk pengisinya, Budhe cukup punya referensi kenalan pembicara/ustadzah, atau terkadang belilau sendiri yang mengisi.

Pakdhe dan Budhe keduanya memang berlatar belakang sebagai guru. PNS. Dulu ketika putrinya masih SD, putrinya itu sering mengajak sahabat2nya u/belajar bersama sepulang sekolah. Sehingga Budhe terbiasa memberikan les gratis dirumahnya. Ya itung2 sambil nungguin anaknya belajar, sambil ngajari anak orang kan bisa dapat pahala. Salut deh, keluarga yang akademis klo kulihat. Kalau Pakdhe, beliau adalah guru SMK yang sampai akhir masa pensiunnya masih diminta sekolah untuk masih tetap mau mengajar. Karena kekurangan guru di sekolah itu. Dengan jiwa besar, selama 2 tahun lebih beliau masih mau mengajar di sekolah itu walaupun statusnya sudah pensiun. Subhanallah.

Klo tentang putra-putri Pakde, pelajaran yg bisa kuambil dari mereka yaitu mereka suka membaca dan mengoleksi buku-buku, pembelajar, ada yg suka melukis dan berwirausaha (mulai dari kos-kosan, warnet, kerudung, batik, tp sekarang yg eksis yaitu kos-kosan dan warnet saja).

Pada suatu hari, Pakde sakit. Beliau tidak selincah dan seramah biasanya ketika aku datang. Lebih banyak diam. Aku sudah merasa ada yang tidak enak, seperti sebuah firasat, namun hanya terlintas dan kemudian terlupakan, ya sudah begitu saja berlalu. Hari berganti hari sakitnya tambah parah karena sebelumnya dlm keadaan sakit beliau masih berusaha membetulkan genteng dan sempat terjadi keseleo/slh urat. Hingga suatu hari kuterima kabar bahwa beliau sudah dipanggil Allah SWT. Beliau meninggal dalam usia 63 tahun, sama seperti Rasulullah SAW. Semua merasa kehilangan.

Sebelum menutup mata beliau sempat berpesan pada istrinya kalau beliau meninggal nanti tidak usah diadakan pengajian peringatan 40 hari atau 100 hari walaupun dari masyarakat sudah terbiasa dengan hal itu. Beliau sudah berpesan bahwa boleh ada pengajian tapi sampai 3 hari saja dan bukan yasinan dan tahlilan seperti kebiasaan masyarakat, namun membaca Al Quran masing2 orang 1 juz/ khataman Qur’an dan dilanjutkan dengan tausiyah.

Begitu berhati-hatinya belliau sehingga ingin memberikan contoh pada masyarakat bahwa ketika melaksanakan sebuah kegiatan keIslaman hendaknya seperti yang dicontohkan Nabi. Ittiba’ Rasul. Selain itu juga mencerminkan kesederhanaan dengan hanya pengajian 3 hari (tidak 7 hari serta tradisi 40 hari dan 100 hari seperti masyarakat kebanyakan). Sedangkan dalam 3 hari pengajiannya itu, tausiyah yang diberikan oleh pembicara juga berisi nasehat pada masyarakat bahwa tradisi 7hari/40 hari/100 hari seperti di atas bukan merupakan suatu keharusan yang dilakukan masyarakat dan tidak dicontohkan oleh Nabi. Dengan bahasa yang santun dan komunikatif, hal ini perlu disampaikan karena dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat yang berbeda2 ekonominya, selain karena Ittiba’ Rasul juga tentunya. Tema lain yang disampaikan yaitu juga mengenai iman kepada takdir dll. Nah disinilah point penting dakwah Islam yang beliau usahakan bahkan ketika beliau meninggal. Menyampaikan kemurnian ajaran Islam berdasar Al-Qur’an dan Sunnah.

Setelah Pakde meninggal, seorang putranya menemukan sepotong kertas bertuliskan terjemah surat Al Maidah ayat 3 yang ditulis oleh Pakde, yang berbunyi : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Surat itu merupakan wahyu terakhir yang diturunkan Allah kepada Muhammad. Ternyata saat hampir meninggal, beliau sudah merasa akan dipanggil di usianya yg ke 63. Seolah seperti telah lega setelah menerima wahyu terakhir dari Allah yang mengabarkan bahwa telah disempurnakan agamanya. Semoga ini menandakan bahwa Allah telah memberikannya Khusnul Khotimah. Sehingga semoga kelak Allah berkenan memasukkan Pakdhe kedalam surga. Harapanku juga, semoga Allah membalas kebaikan Budhe dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Karena tidak akan berkurang harta yang pernah disedekahkan, justru akan ditambah dan digantikan oleh Allah Yang Maha Kaya dan Luas Rezeki-Nya. Amin.

Semoga kisah ini menginspirasi kita semua untuk terus berbuat kebaikan dan istiqomah di jalan dakwah walaupun tantangan selalu datang. Insya Allah.

0 Response to "Pejuang - pejuang itu..."