Motivator

          Belum lama aku mendengar kabar gembira kalau adik2 teman seperjuangan ketika di BAI (Badan Amalan Islam) telah diwisuda. Yang lebih menggembirakan lagi yaitu salah satu diantara mereka ada yang menjadi lulusan terbaik dijurusannya, Sistem Informasi, sama dengan jurusanku. Seorang akhwat mantan kabid annisa penerusku yang aku ingat kalau kami pernah saling memberi motivasi ketika kami bersama-sama membicarakan tentang prestasi. Senang rasanya ternyata dugaanku dan harapanku menjadi kenyataan bahwa dia berhasil menjadi lulusan terbaik.

          "Yunila, kamu kayaknya bisa tuh jd the best graduate, ayo semangat, kita sebagai seorang muslim harus bisa menampilkan yang terbaik, kita kan aktivis dakwah nih, ini bagus untuk dakwah, kalau orang Islam itu harus sukses, biar orang lebih tertarikan pada Islam.” Begitulah kira-kira advice-ku dulu. Dia, yang dulu pernah menjabat sebagai ketua Osis putri YPMI Assalaam itu juga kemudian memberiku semangat untuk menjadi seperti itu pula.

          Jadi ingat juga sama teman akhwat seangkatanku Prapti waktu aku tahu IP-nya tinggi banget. Langsung deh kubilang, “Wah Pe kamu harus bisa jadi lulusan terbaik, nerusin jejak Akh Indra yang juga lulusan terbaik, klo dari BAI banyak yg jadi lulusan terbaik kan sip banget tuh.” Dan seperti biasa juga yang diberi semangat pun menyemangati balik. Dan subhanallah, Prapti pun menjadi the best graduate D3 Teknik Informatika saat wisudanya.

          Selain Yunila dan Prapti, ada juga Ermi anak D3 Kesehatan, mantan sekretarisku, yang saat kelulusan Alhamdulillah dia jadi lulusan terbaik di jurusannya. Saat dulu aku tahu kalau IP-nya juga tinggi dan anaknya rajin mulai deh aku mengeluarkan kata2 yang sama dengan kukatakan pada Prapti dan Yunila. Biasanya ada tambahannya sedikit, yaitu pujian. Pujian sederhana yang semoga tidak membuat yang mendengarnya jd lupa diri karena ada tujuan baik di balik itu. ^_^

          Contohnya seperti ini nih, “Wah, memang ya anak2 BAI itu pinter-pinter. Kakak-kakak kita tu pada jadi asisten dosen, terus pada rajin ikut lomba karya tulis, menang lagi.” Secara tidak langsung cara ini bisa memberikan sugesti positif bahwa “aku itu pintar” sehingga kemudian secara otomatis akan mendorong kita kalau “aku harus menjadi pintar” untuk kemudian kita dengan sendirinya akan bertindak untuk mencari cara menuju “pintar” itu dan melakukannya.

          Ada lagi kisah yang sedikit berbeda. Aku punya teman, teman seperjuangan. Sedang semangat-semangatnya wirausaha. Karena aku juga punya minat di wirausaha, maka obrolan kamipun nyambung. Dia punya impian untuk sukses dengan usaha desain grafisnya. Walaupun beda ‘jurusan wirausahanya’ denganku tapi no problem karena desain grafis termasuk dalam lingkup IT yang juga menjadi makananku sehari-hari (selain nasi dan lauk-pauk, hehe).

          Syukron mbak buat doa dan motivasinya, wah antum kayaknya berbakat jadi motivator, jadi motivator aja mbak biar orang-orang jadi termotivasi, hehe.”

          Tweweweng…. Saat itu aku baru tersadar kalau aku punya kebiasaan seperti itu. Ya semoga itu bermanfaat untuk orang lain. Soalnya kalau melihat orang lain sukses kan ya kita ikut senang. Setelah diingat-ingat mungkin aku tertular virus dari ayah kali ya. Beliau biasa memotivasi anaknya (ya jelas wong anaknya), bahkan mungkin sedikit mendikte. Namun dengan tetap menerapkan asas demokrasi dan luber tentunya, hehe emang pemilu.

          Nah kembali pada motivasi yang diawal tadi yaitu tentang menjadi lulusan terbaik. Ternyata aku sendiri yang sering memotivasi tidak berhasil mencapainya. Susah juga ternyata. Beberapa kompetitor berat ternyata tidak bisa aku kalahkan bahkan sejak semester 1 sudah aku putuskan kalau aku harus bisa mengalahkan mereka di semester 2 dan seterusnya tp kok ya ga bisa2. Yah memang dasarnya udah pintar bawaan lahir, jadi temanku itu dari SMA juga memang sekolahnya di SMA ter-favorit dikotanya yaitu TEGAL. Ealah kalah karo wong Tegal.

          Yang tak dinyana-nyana eh ternyata aku kalah juga sama adik kelas yang jd juniorku dulu di himpunan mahasiswa jurusan, aku lulus 4,5 tahun, dia lulus 3,5 tahun dan dialah peraih IP tertinggi jurusan Sistem Informasi saat wisudaku. Kalau yang ini anak Kudus dan sekarang dia sedang lanjut S2 di Malaysia. Duhduh… ayo Semarang bangkit donk.

          Lantas, apakah kemudian sang motivator dikatakan tidak berhasil memotivasi dirinya sendiri? hehe. Silahkan para pembaca menjawab dengan analisanya masing2. Aku tidak malu atas kegagalanku ini, walaupun memang sempat kecewa. Sejujurnya saat itu ada kegelisahan dalam benakku kalau-kalau kurang bisa mempertanggungjawabkan sebagai lulusan terbaik dengan bukti nyata yang amazing dan OK punya. Aku tidak malu karena aku merasa sudah berusaha keras dan hasil yang kudapatkan ini adalah hasilku sendiri (dengan bantuan dan ridho Allah juga tentunya), berbeda dengan teman2 (tapi tidak semua) yang IP-nya tinggi tapi ada terselip hasil contekan atau kepek-an. Maka aku pun harus bisa bersyukur.

          Usut punya usut, aku fikir perbedaan gender ada pengaruhnya. Ternyata penghuni dunia IT itu lebih banyak laki-lakinya dibanding perempuan, bahkan selisihnya jauh sekali. Skill terjun ke lapangan lebih banyak didominasi oleh kaum Adam, kemampuan untuk tetap bertahan dengan dunia IT pun juga (wah ini mah mencari pembelaan diri, hehe).

          Bayangkan saja, untuk membuat sebuah program aku harus begadang hingga jam 2 - 3 dini hari, siang tidak tidur, asalkan tidak kecapekan beraktifitas diluar rumah, padahal organisasi dan bisnis-ku juga harus diurusi kan. Pernah juga tidak tidur sampai pagi. Setelah aku tanya2 ke teman2 lain pun ternyata sama. Ya memang begini, jadi seperti kelelawar aja, jam terbangnya malam hari. Tapi untuk hal begadang seperti ini tidak hanya orang IT saja kok. Temanku yang orang2 teknik juga biasa seperti itu. Lagi-lagi teknik juga memang didominasi laki-laki kan? hahaha…

          Yasudahlah semua sudah terlewati dan menjadi masa lalu yang tidak bisa terulang dan tak bisa kita ubah. Maka untuk apa kita gelisah terhadap hal yang tidak bisa kita ubah? Mari kita berbicara dengan keimanan karena Allahlah Yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Dengan kebersihan hati insya Allah keikhlasan bisa diraih. Hanya kepada-Mu-lah Ya Allah tempat diri ini bergantung. Diri yang lemah ini akan selalu butuh motivasi dan bimbingan dari-Mu. Dan ternyata, sang motivator pun tetap butuh motivasi.

Semarang, 25 Oktober 2010
00.43 WIB

Bertahanlah untuk Tetap Setia

  
Burung betina ini tertabrak mobil karena terbang terlalu rendah. Ia terkapar tak berdaya. Beberapa kali, dengan penuh cinta, sang jantan membawakan kekasihnya makanan. Lagi, ia membawakan makanan tapi sang betina telah meninggal.

Jantan itu mencoba menggerakan tubuh pasangannya untuk memastikan apa yang terjadi. Sadar bahwa belahan hatinya telah tiada dan tak akan kembali, ia berkicau keras meratapi kepergian pasangannya, tanpa beranjak dari jasad kaku sang kekasih.

Jutaan orang di dunia menangis usai melihat rangkaian gambar yang dibidik seorang wartawan ini. Dimulai saat si betina tertabrak, diberi makan berkali-kali oleh pasangannya, sampai tak bergerak lagi. Si wartawan menjual foto-foto tersebut ke salah satu koran terbesar di Perancis. Seluruh eksemplar koran tersebut habis terjual ketika gambar-gambar ini dimuat.

Kesetiaan memang menyentuh relung hati, tak peduli siapa pelakunya. Bahkan, kisah Hachiko, anjing yang sangat setia menanti tuannya selama 10 tahun di Stasiun KA Shibuya, Tokyo, sangat melegenda. Hachiko tidak tahu bahwa Profesor Ueno, tuannya, telah meninggal di kampus tempatnya mengajar. Ia terus menjemput ‘tuannya yang hilang’ selama bertahun-tahun sampai ajalnya sendiri tiba. Patung tembaga Hachiko sekarang menjadi monument ‘kesetiaan’ di stasiun tersebut.

Kisah kesetiaan, apalagi harus berakhir dengan perpisahan, selalu membuat air mata saya merebak. Tapi mengapa saya harus mengambil ilustrasi hewan sebagai ‘wajah’ kesetiaan? Sebab, bila itu dilakukan manusia, tentulah wajar. Kita punya akal dan nurani. Sedangkan hewan, yang hanya memiliki hawa nafsu, dari mana ia belajar arti setia?

Namun, di sinilah masalahnya. Sesuatu yang wajar ternyata tidak otomatis mudah didapat. Kesetiaan manusia sering tercampuri oleh berbagai kepentingan untung rugi, karena akalnya tahu untung itu enak dan rugi itu tidak enak. Keuntungan versi pikiran seringkali mengalahkan nurani. Jadilah kesetiaan semakin sulit ditemui dalam jiwa manusia kini.

Padahal orang yang sangat tidak setia sekalipun, tetap ingin diberi kesetiaan. Bahkan Allah swt saja sangat gembira mendapati hamba-Nya yang kembali setia pada-Nya, melebihi kegembiraan seoran musafir yang menemukan kembali untanya yang hilang.

Kesetiaan cepat atau lambat akan melahirkan banyak kebaikan. Ia bisa menumbuhkan semangat, cinta, rindu, kepercayaan diri, dan loyalitas seseorang untuk kita. Bahkan kepedihan pun akan menjadi sangat agung, ketika takdir menentukan kesetiaan harus terpisahkan maut.

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS Al Fath [48] : 10)

Jika memang ganjaran kesetiaan begitu indah, mengapa harus sulit untuk bersikap setia? Bukan hanya bagi pasangan, orang tua yang tak pernah pamrih, perusahaan yang member gaji walau kerja tak maksimal, negara tempat kita berpijak, bahkan Tuhan semesta alam menanti kesetiaan kita dengan imbalan yang tidak tanggung-tanggung : kenikmatan hidup di dunia dan akhirat.

Mari berusaha setia pada janji yang pernah tercetus, pada kebaikan perilaku yang telah kita rintis, dan pada kemuliaan ibadah yang mulai meningkat. Sehingga tak pernah akan terucap dari lisan kita, “Dulu ibadahku (atau kecintaanku padanya) lebih baik dari sekarang.”

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am [6] : 162)

Dikutip dari Majalah Ummi edisi September 2010

Sinta kecil, riwajat tempo doeloe...

20.33 by Sinta_Fabriela 0 komentar
             Aku terlahir dari kedua orang tua yang merupakan pilihan Allah dimana aku tidak dapat memilihnya sendiri dan begitupun yang terjadi pada semua orang. Aku sangat bersyukur pada Allah bisa memiliki keduanya hingga sekarang. Mereka sangat kusayangi dan begitupun sebaliknya.

            Sedari lahir aku termasuk anak yang jarang sakit. Walaupun sejak dulu badanku itu termasuk kecil, namun Alhamdulillah, aku diberi kesehatan oleh-Nya. Kalau kita sering melihat anak kecil / balita yang ingusan atau demam kejang2, maka Alhamdulillah tidak demikian dengan aku. Ini dari hasil wawancaraku dengan kedua orangtuaku.

           Namun, biasanya memang setiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihan masing2. Entah kenapa, sering ketika hbs makan malam (saat aku masih bayi) kemudian tidak lama setelah itu tidur malam, di tengah2 nyenyaknya ortu tidur, eeeh tiba2 si Sinta kecil memuntahkan makanan dinner tadi. Kasur yang semula bersih harus digulung diganti yang baru, Sinta harus diberi lagi asupan makanan agar tidak kosong perutnya. Mungkin memang perutnya Sinta kecil kali ya jadi diisinya jangan banyak2, yang penting rutin. Atau saat itu asam lambungnya lg naik ya…? Aduh, ternyata repot ya menjadi orang tua.

           Waktupun berjalan, Sinta kecil perlahan tumbuh menjadi anak yang lincah dan periang. Oya plus ceriwis, kata tukang sate yang sering lewat rumahku. Alhamdulillah memang aku jarang sakit. Tidak ingusan seperti anak kecil pada umumnya. Namun repotnya, wuih.. klo makan itu lho. Ditawari ini ga mau, itu ga mau. Habis makan sering dimuntahin lagi, atau bahkan mau masuk mulut aja susah karena tidak suka menu-nya. Sampai Bapak pernah bilang “Wis, Sinta kepingin ma’em apa wis Bapak pundhutke”. Ahaa… ini dia yang kutunggu2, langsung deh kusebut makanan kesukaanku waktu itu. “Bakso ya Pak.” Kataku sambil tersenyum polos seperti senyum anak kecil pada umumnya. Bapak pun segera pergi membeli bakso, demi memenuhi isi perut anaknya.

            Lain hari lain menu lagi. Pada suatu hari berkatalah Sinta kecil, “Pak, kae ana sate.” Kataku merujuk malu2. “Endi?” tanya Bapak. “Kae lho neng njobo… Te.. sate…” jawabku sambil menirukan gaya tukang sate yang sepertinya mau lewat depan rumahku. Tidak lama kemudian Bapak keluar memanggil tukang sate itu. Sambil si tukang sate memanggang sate pesananku, aku tanya2 terus ke Bapak. Tentang arang-lah, tentang kipas-lah dll. Makanya kemudian sampai si tukang sate bilang, “Putrane ceriwis nggih Pak”. Hehe.

            Jika aku coba ingat2 menu apa saja yang menjadi kebiasaanku dulu yaitu : mie instant, bakso kuah, sate ayam, ayam goreng, ayam goreng bacem, sop ayam, telur dadar, bakso goreng, tempe goreng, udah kayaknya itu. Dan biasanya mie instant-lah yang menjadi top of the week, hmm… padahal ga baik lho ya makan mie terus. Sampai saudara2 di luar kota bs hafal ik klo Sinta itu sukanya emie-emiiie terus…

            Jadi deh badannya kayak emie, kurus gt. Eh tapi jgn salah, kalau di SD nih ya waktu pelajaran olahraga, aku jadi atlet perempuan terbaik no.2 di kelas, ya lari, ya loncat tinggi, ya balapan apa lagi dll. Mungkin karena saking entengnya kali ya badannya jadi mudah terbawa angin keberuntungan, hihihihi… Hmm.. mungkin karena dibiasakan oleh orang tua untuk banyak minum air putih kali ya jadi racun2 dalam tubuh lebih mudah untuk larut dan itu yang menyebabkan badan jadi seger dan fit. Selain itu juga dengan makan teratur 3 kali sehari.

            Satu lagi makanan yang penting yaitu buah dan juga susu sebagai penyempurna makanan. Aku termasuk anak yang tidak tertarik untuk makan (dulu lho), apalagi buah2-an. Sampai Bapak atau mama dengan telatennya mengupas mangga, jeruk dan pepaya untuk kemudian diantar secara special sampai ke gerbang mulutku. Waaaah… I love U Dad.. Mom.. masa indah waktu kecil… Tapi kalau untuk susu, karena aku suka, maka aku sudah bisa mandiri untuk membuatnya.

            Eits tapi semua itu bukan tanpa syarat lho. Karena Bapak sdh mau menuruti keinginanku membeli makanan yang aku sukai (yang diterima oleh mulut dan kerongkonganku, red.) maka akupun diminta untuk patuh pada nasehat ortu. Diantaranya adalah tidak boleh jajan Chiki dan sejenisnya, es, permen2, dll. Pada saat itu mereka memberitahukan konsekuensi yang akan didapat jika suka jajanan yaitu bisa sakit, batuk, pilek dan gigi-nya ompong krn suka permen2, hahaha. Karena alasannya bisa diterima logika maka akupun tidak keberatan dengan peraturan itu. Klopun jajan yang seperti itu ya sesekali boleh lah dlm kurun waktu yg cukup lama. Peraturan lain ada lagi, yang intinya adalah kalau dinasehati ortu diusahakan nurut.

            Nah itu dia sekilas mengenai masa kecilku. Lain dulu lain sekarang lho. Mulai SD kelas 5, makanku sudah mulai banyak dan mau macam2, tidak seperti ketika balita dulu maunya hanya yang disukai saja, kayak orang ngidam. Apalagi sejak SMP karena sering jalan kaki jauh dan jalan2 ke mall, porsi makan siang menjadi banyak dan pada masa SMP itulah badanku sdh mulai mending, nambah beratnya dan nambah tingginya. Tp ya karena nambah beratnya ga byk, lbh byk ke tingginya, ya tetep aja kelihatan kurus.

            Karena aku pada dasarnya adalah orang yang pekewuh-an kalau minta2 ke orang tua. Ga enak kalau merepotkan, dan ya untuk pengiritan keuangan-lah (ceile… kecil2 aku sdh bisa ngirit lho, sejak SD nih) juga karena aku tidak mau dibilang anak yang manja, sedikit2 minta dibelikan sesuatu. Maka beranjak besar pun aku selalu berusaha makan apa yang telah disediakan mama di meja makan. Berbagai macam sayur aku lahap, tomat di-gado-pun aku doyan, kol sebagai lalapan pun oke. Sampai sekarang. Kecuali sayur pare dan sayur daun pepaya, wuih pait… jd aku kurang doyan.

            Yah mulai SD itulah aku sdh tidak banyak permintaan untuk dibuatkan menu makanan ini atau itu. Jajanan diluarpun juga aku jarang. Kalau tidak karena adekku yang minta, maka aku tidak akan meminta duluan. Jadi karena adek permintaannya lumayan banyak, jadi deh aku kecipratan. Kan yang namanya rejeki ga akan kemana… iya tho…? Hehehe.

Antara Hati dan Hati

19.59 by Sinta_Fabriela 0 komentar
Bagai penyair yang pantulan kata-katanya melampaui arti, nasihat seorang murobbi menjadi begitu bermakna ketika ia menyampaikannya dengan hati. Tidak cukup juga ketika hanya dari hati, namun akan lebih bermakna ketika memang ia memahami sepenuhnya (sesuai Al Quran dan As Sunnah) dan berusaha mengamalkan apa yang diucapkannya. Sehingga yang diupayakan bukanlah memunculkan di permukaan sebuah kebaikan yang tanpa memandang hal itu secara aplikatif telah diusahakan. Walaupun semua tau bahwa kebaikan itu ada prosesnya. Paling tidak, yang tersampaikan adalah dari hati, karena yang berasal dari hati, akan sampai ke hati.

Seperti menyiapkan ruang selapangnya di dada ketika telah menetapkan diri sebagai seorang dai/daiyah. Harus tetap semangat walaupun ketika di awal-awal perjumpaan hanya segelintir yang datang. Atau dengan berbagai alasan izin yang kemudian membuat mutarobbi tidak hadir. Maka disini dibutuhkan ta’liful quluub (ikatan hati) diantara mutarobbi dengan sesamanya terlebih antara mutarobbi dengan murobbinya. Karena dengan itulah yang dapat membuat mereka nyaman berinteraksi serta rindu kembali ke dalam forum halaqoh insya Allah.

Menjadi seorang murobbi atau jika bisa digeneralisir yaitu sebagai seorang guru yang mempunyai tugas mendidik dan mengajar memang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Karena, seorang guru dituntut untuk bisa membantu murid memahami sebuah materi dan mengawal mereka dalam pencapaian jati diri yang luhur. Idealnya menjadi guru memang bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual.

Adalah hati yang rendah, pondasi bagi pendidik dalam setiap perjalanannya menyemaikan bait-bait ilmu kepada muridnya. Karena jika merujuk kepada panduan Ilahiah sesuai yang dicitrakan Tuhan, tentulah kita bisa menemukan sebuah potensi yang luar biasa dahsyatnya. Mungkin seseorang tersebut belumlah menjadi seorang yang ahli ibadah dalam artian ibadahnya cukup dan sedkit lebih dengan tambahan sunnah, namun belum sebaik dan sebanyak ibadahnya Nabi dan para sahabat. Akan tetapi salah satu yang dapat menjadikan manusia itu hebat adalah hati yang dimilikinya.

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati.” (HR Bukhari).

Kemudian dari hati yang baik dan bersih itulah bisa memunculkan beragam energi positif yang hasilnya adalah akhlak dan perbuatan yang mulia. Mengutip juga sebuah hadits yang bisa menjadikan kita berintrospeksi diri. “Janganlah kalian banyak bicara tanpa pernah berzikir kepada Allah. Sebab yang demikian itu akan membuat hati menjadi keras. Dan sesungguhnya manusia yang paling jauh dari cahaya Allah adalah orang yang memiliki hati yang keras.” (Hadis Riwayat At-Tirmidzi).

Hadits tersebut berkaitan dengan hati seseorang yang jika dirutinkan dengan dzikir kepada Allah maka akan selalu dipenuhi oleh cahaya dan petunjuk-Nya. Ini akan berkaitan sekali dengan apa yang kemudian keluar dari lisan dan ekspresi seseorang. Sebagai seorang guru, hal ini sangat penting diketahui karena akan berdampak kepada pola pengajaran dan penyerapan ilmu pada murid.

Jika seorang guru senantiasa berkata-kata dengan bahasa yang baik, sopan dan lembut, walaupun dalam hati sedang menyimpan kesedihan/kekesalan, niscaya murid akan merespon dengan baik pula. Tak ada tekanan dan tidak ada rasa takut menghantui dirinya. Apalagi bagi murid yang baru saja mengenal gurunya. Sebaliknya, jika guru memasang raut muka judes/angkuh, serta kata-katanya keras, bisa dipastikan detak jantung si murid menjadi bergemuruh tak karuan. Tak akan lagi bisa berpikir dengan jernih pada materi yang disampaikan. Dalam keadaan demikian, yang ada dalam benak si murid adalah ingin segera mengakhiri perjumpaan itu dan jika sudah berakhir, maka pertemuan2 selanjutnya pun tak dirindukan atau bahkan bisa saja dihindari.

Sebenarnya hal ini terkait juga dengan karakter bawaan seseorang yang pastinya berbeda-beda. Atau dialek daerah yang bermacam-macam. Akan tetapi, sebaiknya tidak lantas mengkambinghitamkan karakter bagi yang memang agak sulit untuk berlaku lembut dan santun terhadap orang lain. Seorang guru memang harus tegas, tapi tetap dengan kasih sayang dan kelembutan seperti yang dicontohkan Rasulullah. Memang ada Umar bin Khaththab yang dengan ketegasannya sampai membuat setan takut padanya. Namun Umar juga merupakan sosok didikan Rasul yang mengajarkan tazkiyatun nafs di kesehariannya. Sehingga apapun karakternya, minumannya adalah dzikrullah yang bisa membuat hati menjadi bersih dan selalu dalam cahaya-Nya.

Perlu diluruskan pula bahwa lembut yang dimaksud bukan hanya berarti lemah lembut/kalem dan pelan. Lebih luas dari itu, karena yang dimaksudkan disini adalah cara2 penyampaian materi dengan akhlak yang baik, intinya itu. Ada saat2 dimana sebuah materi perlu diberi penekanan dengan ekspresi guru yang lebih powerfull. Atau mungkin dengan kisah yang mengocok perut. Sedangkan ketika sampai pada masalah2 syariat dan tauhid maka ketegasan dan kejelasan bisa terlihat dari gaya bicaranya yang lebih serius.

Adakalanya memang seorang guru memberikan brain-storming yang bisa membuat murid menjadi kaget, tentunya dengan niat dan tujuan yang baik. Namun dengan segala kebersihan hati ketika menyampaikan (guru) dan ketika menerimanya (murid), serta selalu ber-khusnudzon dan terutama bagi sang murid untuk mengingat rendah hati dalam mencari ilmu, fainsya Allah keharmonisan diantara mereka bisa tetap terjaga.
Apa yang berasal dari hati akan masuk ke hati. Dengan izin Allah, jika keduanya (murid dan guru) senantiasa berusaha untuk menjaga hatinya maka akan lebih mudah bagi mereka mencapai ta’liful quluub. Amin, insya Allah.