Bertahanlah untuk Tetap Setia

Kamis, 07 Oktober 2010 20.48 by Sinta_Fabriela
  
Burung betina ini tertabrak mobil karena terbang terlalu rendah. Ia terkapar tak berdaya. Beberapa kali, dengan penuh cinta, sang jantan membawakan kekasihnya makanan. Lagi, ia membawakan makanan tapi sang betina telah meninggal.

Jantan itu mencoba menggerakan tubuh pasangannya untuk memastikan apa yang terjadi. Sadar bahwa belahan hatinya telah tiada dan tak akan kembali, ia berkicau keras meratapi kepergian pasangannya, tanpa beranjak dari jasad kaku sang kekasih.

Jutaan orang di dunia menangis usai melihat rangkaian gambar yang dibidik seorang wartawan ini. Dimulai saat si betina tertabrak, diberi makan berkali-kali oleh pasangannya, sampai tak bergerak lagi. Si wartawan menjual foto-foto tersebut ke salah satu koran terbesar di Perancis. Seluruh eksemplar koran tersebut habis terjual ketika gambar-gambar ini dimuat.

Kesetiaan memang menyentuh relung hati, tak peduli siapa pelakunya. Bahkan, kisah Hachiko, anjing yang sangat setia menanti tuannya selama 10 tahun di Stasiun KA Shibuya, Tokyo, sangat melegenda. Hachiko tidak tahu bahwa Profesor Ueno, tuannya, telah meninggal di kampus tempatnya mengajar. Ia terus menjemput ‘tuannya yang hilang’ selama bertahun-tahun sampai ajalnya sendiri tiba. Patung tembaga Hachiko sekarang menjadi monument ‘kesetiaan’ di stasiun tersebut.

Kisah kesetiaan, apalagi harus berakhir dengan perpisahan, selalu membuat air mata saya merebak. Tapi mengapa saya harus mengambil ilustrasi hewan sebagai ‘wajah’ kesetiaan? Sebab, bila itu dilakukan manusia, tentulah wajar. Kita punya akal dan nurani. Sedangkan hewan, yang hanya memiliki hawa nafsu, dari mana ia belajar arti setia?

Namun, di sinilah masalahnya. Sesuatu yang wajar ternyata tidak otomatis mudah didapat. Kesetiaan manusia sering tercampuri oleh berbagai kepentingan untung rugi, karena akalnya tahu untung itu enak dan rugi itu tidak enak. Keuntungan versi pikiran seringkali mengalahkan nurani. Jadilah kesetiaan semakin sulit ditemui dalam jiwa manusia kini.

Padahal orang yang sangat tidak setia sekalipun, tetap ingin diberi kesetiaan. Bahkan Allah swt saja sangat gembira mendapati hamba-Nya yang kembali setia pada-Nya, melebihi kegembiraan seoran musafir yang menemukan kembali untanya yang hilang.

Kesetiaan cepat atau lambat akan melahirkan banyak kebaikan. Ia bisa menumbuhkan semangat, cinta, rindu, kepercayaan diri, dan loyalitas seseorang untuk kita. Bahkan kepedihan pun akan menjadi sangat agung, ketika takdir menentukan kesetiaan harus terpisahkan maut.

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS Al Fath [48] : 10)

Jika memang ganjaran kesetiaan begitu indah, mengapa harus sulit untuk bersikap setia? Bukan hanya bagi pasangan, orang tua yang tak pernah pamrih, perusahaan yang member gaji walau kerja tak maksimal, negara tempat kita berpijak, bahkan Tuhan semesta alam menanti kesetiaan kita dengan imbalan yang tidak tanggung-tanggung : kenikmatan hidup di dunia dan akhirat.

Mari berusaha setia pada janji yang pernah tercetus, pada kebaikan perilaku yang telah kita rintis, dan pada kemuliaan ibadah yang mulai meningkat. Sehingga tak pernah akan terucap dari lisan kita, “Dulu ibadahku (atau kecintaanku padanya) lebih baik dari sekarang.”

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am [6] : 162)

Dikutip dari Majalah Ummi edisi September 2010

0 Response to "Bertahanlah untuk Tetap Setia"