Antara Hati dan Hati

Kamis, 07 Oktober 2010 19.59 by Sinta_Fabriela
Bagai penyair yang pantulan kata-katanya melampaui arti, nasihat seorang murobbi menjadi begitu bermakna ketika ia menyampaikannya dengan hati. Tidak cukup juga ketika hanya dari hati, namun akan lebih bermakna ketika memang ia memahami sepenuhnya (sesuai Al Quran dan As Sunnah) dan berusaha mengamalkan apa yang diucapkannya. Sehingga yang diupayakan bukanlah memunculkan di permukaan sebuah kebaikan yang tanpa memandang hal itu secara aplikatif telah diusahakan. Walaupun semua tau bahwa kebaikan itu ada prosesnya. Paling tidak, yang tersampaikan adalah dari hati, karena yang berasal dari hati, akan sampai ke hati.

Seperti menyiapkan ruang selapangnya di dada ketika telah menetapkan diri sebagai seorang dai/daiyah. Harus tetap semangat walaupun ketika di awal-awal perjumpaan hanya segelintir yang datang. Atau dengan berbagai alasan izin yang kemudian membuat mutarobbi tidak hadir. Maka disini dibutuhkan ta’liful quluub (ikatan hati) diantara mutarobbi dengan sesamanya terlebih antara mutarobbi dengan murobbinya. Karena dengan itulah yang dapat membuat mereka nyaman berinteraksi serta rindu kembali ke dalam forum halaqoh insya Allah.

Menjadi seorang murobbi atau jika bisa digeneralisir yaitu sebagai seorang guru yang mempunyai tugas mendidik dan mengajar memang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Karena, seorang guru dituntut untuk bisa membantu murid memahami sebuah materi dan mengawal mereka dalam pencapaian jati diri yang luhur. Idealnya menjadi guru memang bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual.

Adalah hati yang rendah, pondasi bagi pendidik dalam setiap perjalanannya menyemaikan bait-bait ilmu kepada muridnya. Karena jika merujuk kepada panduan Ilahiah sesuai yang dicitrakan Tuhan, tentulah kita bisa menemukan sebuah potensi yang luar biasa dahsyatnya. Mungkin seseorang tersebut belumlah menjadi seorang yang ahli ibadah dalam artian ibadahnya cukup dan sedkit lebih dengan tambahan sunnah, namun belum sebaik dan sebanyak ibadahnya Nabi dan para sahabat. Akan tetapi salah satu yang dapat menjadikan manusia itu hebat adalah hati yang dimilikinya.

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati.” (HR Bukhari).

Kemudian dari hati yang baik dan bersih itulah bisa memunculkan beragam energi positif yang hasilnya adalah akhlak dan perbuatan yang mulia. Mengutip juga sebuah hadits yang bisa menjadikan kita berintrospeksi diri. “Janganlah kalian banyak bicara tanpa pernah berzikir kepada Allah. Sebab yang demikian itu akan membuat hati menjadi keras. Dan sesungguhnya manusia yang paling jauh dari cahaya Allah adalah orang yang memiliki hati yang keras.” (Hadis Riwayat At-Tirmidzi).

Hadits tersebut berkaitan dengan hati seseorang yang jika dirutinkan dengan dzikir kepada Allah maka akan selalu dipenuhi oleh cahaya dan petunjuk-Nya. Ini akan berkaitan sekali dengan apa yang kemudian keluar dari lisan dan ekspresi seseorang. Sebagai seorang guru, hal ini sangat penting diketahui karena akan berdampak kepada pola pengajaran dan penyerapan ilmu pada murid.

Jika seorang guru senantiasa berkata-kata dengan bahasa yang baik, sopan dan lembut, walaupun dalam hati sedang menyimpan kesedihan/kekesalan, niscaya murid akan merespon dengan baik pula. Tak ada tekanan dan tidak ada rasa takut menghantui dirinya. Apalagi bagi murid yang baru saja mengenal gurunya. Sebaliknya, jika guru memasang raut muka judes/angkuh, serta kata-katanya keras, bisa dipastikan detak jantung si murid menjadi bergemuruh tak karuan. Tak akan lagi bisa berpikir dengan jernih pada materi yang disampaikan. Dalam keadaan demikian, yang ada dalam benak si murid adalah ingin segera mengakhiri perjumpaan itu dan jika sudah berakhir, maka pertemuan2 selanjutnya pun tak dirindukan atau bahkan bisa saja dihindari.

Sebenarnya hal ini terkait juga dengan karakter bawaan seseorang yang pastinya berbeda-beda. Atau dialek daerah yang bermacam-macam. Akan tetapi, sebaiknya tidak lantas mengkambinghitamkan karakter bagi yang memang agak sulit untuk berlaku lembut dan santun terhadap orang lain. Seorang guru memang harus tegas, tapi tetap dengan kasih sayang dan kelembutan seperti yang dicontohkan Rasulullah. Memang ada Umar bin Khaththab yang dengan ketegasannya sampai membuat setan takut padanya. Namun Umar juga merupakan sosok didikan Rasul yang mengajarkan tazkiyatun nafs di kesehariannya. Sehingga apapun karakternya, minumannya adalah dzikrullah yang bisa membuat hati menjadi bersih dan selalu dalam cahaya-Nya.

Perlu diluruskan pula bahwa lembut yang dimaksud bukan hanya berarti lemah lembut/kalem dan pelan. Lebih luas dari itu, karena yang dimaksudkan disini adalah cara2 penyampaian materi dengan akhlak yang baik, intinya itu. Ada saat2 dimana sebuah materi perlu diberi penekanan dengan ekspresi guru yang lebih powerfull. Atau mungkin dengan kisah yang mengocok perut. Sedangkan ketika sampai pada masalah2 syariat dan tauhid maka ketegasan dan kejelasan bisa terlihat dari gaya bicaranya yang lebih serius.

Adakalanya memang seorang guru memberikan brain-storming yang bisa membuat murid menjadi kaget, tentunya dengan niat dan tujuan yang baik. Namun dengan segala kebersihan hati ketika menyampaikan (guru) dan ketika menerimanya (murid), serta selalu ber-khusnudzon dan terutama bagi sang murid untuk mengingat rendah hati dalam mencari ilmu, fainsya Allah keharmonisan diantara mereka bisa tetap terjaga.
Apa yang berasal dari hati akan masuk ke hati. Dengan izin Allah, jika keduanya (murid dan guru) senantiasa berusaha untuk menjaga hatinya maka akan lebih mudah bagi mereka mencapai ta’liful quluub. Amin, insya Allah.

0 Response to "Antara Hati dan Hati"