Sejuta Keindahan Malam

                 Malam hari, menyimpan pesona tersendiri bagiku. Udaranya yang lebih bersahabat mengajak badan kita untuk lebih rileks, membuat kita bisa beraktifitas dengan lebih santai dibandingkan dengan siang hari. Angin malam yang terhalang oleh dinding tetap terasa sejuk menyentuh kulit, karena ianya menelisik pelan melewati ventilasi jendela kamarku.
                 Jari-jarikupun terasa lincah menari diatas keyboard, mengisahkan apa saja yang terlintas di hati dan fikiran. Sejenak berlari kembali ke masa yang telah lampau, namun seketika melompat tinggi ke masa depan, yang tersusun dari jutaan impian kesuksesan kehidupan mendatang. Karena malam, dan hanya di saat malam.
                Malam dengan sejuta kemisteriusannya tetap menjadi menarik bagiku, karena dengan Allah ciptakan malam, maka berjuta-juta hamba yang selalu sibuk di siang harinya, bisa mendekat lebih dalam kepada Rabb-Nya. Juga bagi sebuah keluarga yang terpisah ketika di siang harinya, menjadi sakinah-lah mereka dengan saling bertatap di malam harinya.
                Menghabiskan waktu malam dirumah saja merupakan hal yang sudah biasa bagiku. Bagi sebagian orang mungkin terasa membosankan, apalagi jika malam minggu tiba namun hanya dirumah saja. Akan tetapi bagiku ini adalah sebuah keharusan yang telah dibiasakan sehingga tidak terasa berat menjalaninya. Dengan cinta dan karena mengharap cinta, maka segalanya menjadi mudah. Karena teringat akan cinta dan berkorban untuk cinta, maka terasa indah pengorbanan itu.
                 Kutatap wajah kedua orangtuaku dengan cinta dan penuh doa-doa. Mengalirkan rahmah yang begitu dalam. Melakukan hal-hal yang sederhana dengan kekuatan luar biasa. Maka menjadilah aktivitas itu benar-benar luar biasa. Mengusap wajah dan mencium kening ibu dengan sederhana, memijat kaki dan bahu ayah dengan bersenda gurau, membangkitkan nilai tersendiri bagi kedalaman hidup seorang anak yang ingin shalihah. Seseorang yang berharap dapat memudahkan jalan kedua orang tuanya melangkah menuju surga. Amin.

k.a.s.i.h

Seseorang yang penuh sifat kasih yang berasal dari dalam dirinya,
tidak tergantung terhadap keadaan di luarnya...

Di dalam dirinya hanya ada kasih...
di luarnya hanya berupa ungkapan kasih...
dan dia yakin akan dibimbing oleh kasih...

Tips Hafalan Quran dari teman-teman

                  Jika hafalan Al Quran terasa susah dan sulit nyantol di ingatan, dan jika banyak surat yang sudah kita hafal hilang dan susah diingat, maka kita perlu muhasabah dan introspeksi diri. Apakah dosa-dosa kecil telah menutup pintu otak kita dalam menerima ilmu, ataukah karena ada sesuatu yang kurang halal masuk ke dalam tubuh kita…? Apakah kita terlalu sibuk dengan urusan dunia sehingga kehabisan waktu menghafal, ataukah karena motivasi dalam diri kitalah yang sudah tidak ada? Dan tentunya masih banyak lagi kemungkinan2 yang menjadi penyebabnya.
                Semoga kendala2 yang menghalangi kita untuk dekat dengan Al Quran, tidak menjadi alasan bagi kita untuk membela diri mencari pembenaran. Namun justru semakin menantang kita untuk lebih giat lagi mengusahakannya.
                 Aku masih ingat ketika beberapa kali berinteraksi dan mabit bersama akhwat2 penghafal Quran dari Adz-Dzikkra, keistiqomahannya membuatku tertarik untuk mengikuti jejaknya. Kemudian ketika kubaca profil keluarga Ustadzah Wirianingsih di sebuah majalah, Subhanallah, mereka menerapkan pola yang te-o-pe be-ge-te di lingkungan keluarganya. Sedangkan di lain tempat, aku melihat siswa-siswi SMP IT Har-Bun yang sedang menghafal sambil mondar-mandir. Lucu juga ketika mereka lagi setoran ke ustadz - ustadzahnya, wajah polosnya berubah jd serius dengan dahi berkerut sehingga nampak seperti 5 tahun lebih tua, hehe.
                 Berikut ini aku coba menuliskan tips2 menghafal Al-Quran (plus nasihat2) yang kuingat dari cara teman2 ketika menghafal. Agar terasa ringan dan seru dibaca serta mudah masuk ke otak, maka ijinkan diri ini menyebut ‘merk’, okay teman2… =)

One.. two.. three.. go….

Mbak Aida     :      “Pahami terjemahnya, ikuti alur kisah/penjelasan yang ingin dijelaskan AlQuran, juga keterkaitan antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, jadi kita lebih mudah menghafal lanjutan ayat2nya.”

Mbak Atik     :      “Biasanya orang yang mudah menghafal itu juga banyak mbaca Quran-nya, jadi tilawah itu mempengaruhi hafalan.”

Mbak Suryani :      “Membaca berkali-kali/mengulang2 satu ayat agar bisa hafal baru kemudian berganti ke ayat selanjutnya.”

Mbak Mega   :      “Menulis ayat2 yang akan dihafalkan pada kertas/buku catatan karena menulis bisa menambah ingatan.”

Mbak Ayyul   :      “3 hari setelah liqo’ buat muraja’ah, 3 hari kemudian untuk nambah hafalan, hari ketujuhnya siap disetor.”

Mbak Mourly :      “Menjaga hafalan itu dengan muraja’ah. Baca surat2 yang baru kita hafal ke dalam shalat2 kita. ”

Mbak Ulya    :      “Biasakan menghafal dengan 1 mushaf, karena bisa membantu kita mengingat dengan susunan tata letak ayat.”

Mbak Triyani  :      “Buat target hafalan, misal 1 hari 1 ayat, kalau tidak tercapai pada hari itu, hari berikutnya hafalan 2 ayat/ dua kali lipat.”

Mbak Siti       :      “Azzamkan kuat-kuat dalam diri untuk bisa hafalan, cita-citakan diri kita menjadi seorang Hafidzoh.” (Kalau perlu, kasih nama belakang anak kita : “Hafidzoh”, hehe, ini mah made by Sinta)

Pak Pandu     :      “Beli Al-Qur’an baru bisa nambah semangat tilawah, dan jangan lupa muraja’ah.” 

Mbak Dwi     :      “Berhati-hatilah dengan apa-apa yang masuk ke dalam tubuh kita. Perhatikan kehalalannya, karena itu mempengaruhi sulit/tidaknya penyerapan ilmu/hafalan. Atas kehendak Allah-lah memberikan ilmu-Nya kepada kita, jd memintalah terlebih dahulu kepada Allah agar dibukakan ilmu-Nya untuk kita.”

Bu Lathifah   :      “Sesibuk apapun kita dengan pekerjaan/urusan dunia, janganlah sampai melupakan kita untuk dekat dengan Al Quran. Jangan sampai dunia membuat kita lupa dengan akhirat. Jika hafalan sudah mulai susah, coba koreksi diri atas kesibukan-kesibukan kita, sudahkan menjadi barokah?”

Usth. Harmeli :      “Jika ada 2 orang, yang satu menghabiskan waktu senggangnya dengan bersantai2 saja, sedangkan yang satunya memanfaatkannya dengan membaca/menghafal AlQuran, manakah yang dikatakan lebih baik?

Ust. Halim N. :      “Sambil bepergian naik mobil, putar mp3 murottal Al Quran, jadikan fasilitas yang ada membuat kita semakin mudah mendekati Allah, jangan malah melenakan dan membuat kita semakin cinta dunia.” 

Usth. Wirianingsih  :           “Waktu subuh termasuk waktu yang baik untuk menghafal dan muroja’ah.”

Imam Asy-Syafi'i   :    “Aku mengadu kepada Waqi' (gurunya) tentang buruknya hafalanku, maka beliau menasehatiku untuk meninggalkan maksiat.” (Baik yang dilakukan oleh telinga, mata, lisan, tangan dan hati. Sebab maksiat itu bisa membuat hati menjadi lupa dan terlena).

              Sedangkan pesan dariku sendiri bagi teman2 yang berusaha untuk menghafal Al Quran, marilah kita berhati-hati dan menghafalkan juga panjang-pendeknya harokat. Memperhatikan makhroj dan tajwid juga masuk ke dalam penilaian benar atau tidaknya bacaan Quran kita. Tidak usah terburu-buru ketika melafalkan (karena takut keburu lupa), pelan tapi benar dan enak didengar itu lebih utama.
              Untuk menambah referensi tentang para hafidz, marilah sejenak kita berkunjung ke zaman Rasul, Sang teladan agung sepanjang zaman. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri mengambil / belajar Al-Quran dari Jibril alaihis salam secara lisan. Setahun sekali pada bulan Ramadhan secara rutin Jibril alaihis salam menemui beliau untuk murajaah hafalan beliau. Pada tahun Rasulullah shallallahualaihi wa sallam diwafatkan, Jibril menemui beliau sampai dua kali.
               Para shahabat radliallahu anhum juga belajar Al-Quran dari Rasulullah shallallahualaihi wa sallam secara lisan demikian pula generasi-generasi terbaik setelah mereka. Pada masa sekarang dapat dibantu dengan mendengarkan kaset-kaset murattal yang dibaca oleh qari yang baik dan bagus bacaannya. Wajib bagi penghafal Al-Quran untuk tidak menyandarkan kepada dirinya sendiri dalam hal bacaan Al-Quran dan tajwidnya.
               And the last, sebagai penutup, marilah kita senantiasa bermohon kepada Allah untuk dimudahkan dalam menghafal dan mengingat ayat-ayat yang telah kita hafal. Semoga Allah berkenan menganugerahkan ilmu-Nya yang banyak kepada kita. Yang banyak, dan tidak sedikit. Amin.

Motivator

          Belum lama aku mendengar kabar gembira kalau adik2 teman seperjuangan ketika di BAI (Badan Amalan Islam) telah diwisuda. Yang lebih menggembirakan lagi yaitu salah satu diantara mereka ada yang menjadi lulusan terbaik dijurusannya, Sistem Informasi, sama dengan jurusanku. Seorang akhwat mantan kabid annisa penerusku yang aku ingat kalau kami pernah saling memberi motivasi ketika kami bersama-sama membicarakan tentang prestasi. Senang rasanya ternyata dugaanku dan harapanku menjadi kenyataan bahwa dia berhasil menjadi lulusan terbaik.

          "Yunila, kamu kayaknya bisa tuh jd the best graduate, ayo semangat, kita sebagai seorang muslim harus bisa menampilkan yang terbaik, kita kan aktivis dakwah nih, ini bagus untuk dakwah, kalau orang Islam itu harus sukses, biar orang lebih tertarikan pada Islam.” Begitulah kira-kira advice-ku dulu. Dia, yang dulu pernah menjabat sebagai ketua Osis putri YPMI Assalaam itu juga kemudian memberiku semangat untuk menjadi seperti itu pula.

          Jadi ingat juga sama teman akhwat seangkatanku Prapti waktu aku tahu IP-nya tinggi banget. Langsung deh kubilang, “Wah Pe kamu harus bisa jadi lulusan terbaik, nerusin jejak Akh Indra yang juga lulusan terbaik, klo dari BAI banyak yg jadi lulusan terbaik kan sip banget tuh.” Dan seperti biasa juga yang diberi semangat pun menyemangati balik. Dan subhanallah, Prapti pun menjadi the best graduate D3 Teknik Informatika saat wisudanya.

          Selain Yunila dan Prapti, ada juga Ermi anak D3 Kesehatan, mantan sekretarisku, yang saat kelulusan Alhamdulillah dia jadi lulusan terbaik di jurusannya. Saat dulu aku tahu kalau IP-nya juga tinggi dan anaknya rajin mulai deh aku mengeluarkan kata2 yang sama dengan kukatakan pada Prapti dan Yunila. Biasanya ada tambahannya sedikit, yaitu pujian. Pujian sederhana yang semoga tidak membuat yang mendengarnya jd lupa diri karena ada tujuan baik di balik itu. ^_^

          Contohnya seperti ini nih, “Wah, memang ya anak2 BAI itu pinter-pinter. Kakak-kakak kita tu pada jadi asisten dosen, terus pada rajin ikut lomba karya tulis, menang lagi.” Secara tidak langsung cara ini bisa memberikan sugesti positif bahwa “aku itu pintar” sehingga kemudian secara otomatis akan mendorong kita kalau “aku harus menjadi pintar” untuk kemudian kita dengan sendirinya akan bertindak untuk mencari cara menuju “pintar” itu dan melakukannya.

          Ada lagi kisah yang sedikit berbeda. Aku punya teman, teman seperjuangan. Sedang semangat-semangatnya wirausaha. Karena aku juga punya minat di wirausaha, maka obrolan kamipun nyambung. Dia punya impian untuk sukses dengan usaha desain grafisnya. Walaupun beda ‘jurusan wirausahanya’ denganku tapi no problem karena desain grafis termasuk dalam lingkup IT yang juga menjadi makananku sehari-hari (selain nasi dan lauk-pauk, hehe).

          Syukron mbak buat doa dan motivasinya, wah antum kayaknya berbakat jadi motivator, jadi motivator aja mbak biar orang-orang jadi termotivasi, hehe.”

          Tweweweng…. Saat itu aku baru tersadar kalau aku punya kebiasaan seperti itu. Ya semoga itu bermanfaat untuk orang lain. Soalnya kalau melihat orang lain sukses kan ya kita ikut senang. Setelah diingat-ingat mungkin aku tertular virus dari ayah kali ya. Beliau biasa memotivasi anaknya (ya jelas wong anaknya), bahkan mungkin sedikit mendikte. Namun dengan tetap menerapkan asas demokrasi dan luber tentunya, hehe emang pemilu.

          Nah kembali pada motivasi yang diawal tadi yaitu tentang menjadi lulusan terbaik. Ternyata aku sendiri yang sering memotivasi tidak berhasil mencapainya. Susah juga ternyata. Beberapa kompetitor berat ternyata tidak bisa aku kalahkan bahkan sejak semester 1 sudah aku putuskan kalau aku harus bisa mengalahkan mereka di semester 2 dan seterusnya tp kok ya ga bisa2. Yah memang dasarnya udah pintar bawaan lahir, jadi temanku itu dari SMA juga memang sekolahnya di SMA ter-favorit dikotanya yaitu TEGAL. Ealah kalah karo wong Tegal.

          Yang tak dinyana-nyana eh ternyata aku kalah juga sama adik kelas yang jd juniorku dulu di himpunan mahasiswa jurusan, aku lulus 4,5 tahun, dia lulus 3,5 tahun dan dialah peraih IP tertinggi jurusan Sistem Informasi saat wisudaku. Kalau yang ini anak Kudus dan sekarang dia sedang lanjut S2 di Malaysia. Duhduh… ayo Semarang bangkit donk.

          Lantas, apakah kemudian sang motivator dikatakan tidak berhasil memotivasi dirinya sendiri? hehe. Silahkan para pembaca menjawab dengan analisanya masing2. Aku tidak malu atas kegagalanku ini, walaupun memang sempat kecewa. Sejujurnya saat itu ada kegelisahan dalam benakku kalau-kalau kurang bisa mempertanggungjawabkan sebagai lulusan terbaik dengan bukti nyata yang amazing dan OK punya. Aku tidak malu karena aku merasa sudah berusaha keras dan hasil yang kudapatkan ini adalah hasilku sendiri (dengan bantuan dan ridho Allah juga tentunya), berbeda dengan teman2 (tapi tidak semua) yang IP-nya tinggi tapi ada terselip hasil contekan atau kepek-an. Maka aku pun harus bisa bersyukur.

          Usut punya usut, aku fikir perbedaan gender ada pengaruhnya. Ternyata penghuni dunia IT itu lebih banyak laki-lakinya dibanding perempuan, bahkan selisihnya jauh sekali. Skill terjun ke lapangan lebih banyak didominasi oleh kaum Adam, kemampuan untuk tetap bertahan dengan dunia IT pun juga (wah ini mah mencari pembelaan diri, hehe).

          Bayangkan saja, untuk membuat sebuah program aku harus begadang hingga jam 2 - 3 dini hari, siang tidak tidur, asalkan tidak kecapekan beraktifitas diluar rumah, padahal organisasi dan bisnis-ku juga harus diurusi kan. Pernah juga tidak tidur sampai pagi. Setelah aku tanya2 ke teman2 lain pun ternyata sama. Ya memang begini, jadi seperti kelelawar aja, jam terbangnya malam hari. Tapi untuk hal begadang seperti ini tidak hanya orang IT saja kok. Temanku yang orang2 teknik juga biasa seperti itu. Lagi-lagi teknik juga memang didominasi laki-laki kan? hahaha…

          Yasudahlah semua sudah terlewati dan menjadi masa lalu yang tidak bisa terulang dan tak bisa kita ubah. Maka untuk apa kita gelisah terhadap hal yang tidak bisa kita ubah? Mari kita berbicara dengan keimanan karena Allahlah Yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Dengan kebersihan hati insya Allah keikhlasan bisa diraih. Hanya kepada-Mu-lah Ya Allah tempat diri ini bergantung. Diri yang lemah ini akan selalu butuh motivasi dan bimbingan dari-Mu. Dan ternyata, sang motivator pun tetap butuh motivasi.

Semarang, 25 Oktober 2010
00.43 WIB

Bertahanlah untuk Tetap Setia

  
Burung betina ini tertabrak mobil karena terbang terlalu rendah. Ia terkapar tak berdaya. Beberapa kali, dengan penuh cinta, sang jantan membawakan kekasihnya makanan. Lagi, ia membawakan makanan tapi sang betina telah meninggal.

Jantan itu mencoba menggerakan tubuh pasangannya untuk memastikan apa yang terjadi. Sadar bahwa belahan hatinya telah tiada dan tak akan kembali, ia berkicau keras meratapi kepergian pasangannya, tanpa beranjak dari jasad kaku sang kekasih.

Jutaan orang di dunia menangis usai melihat rangkaian gambar yang dibidik seorang wartawan ini. Dimulai saat si betina tertabrak, diberi makan berkali-kali oleh pasangannya, sampai tak bergerak lagi. Si wartawan menjual foto-foto tersebut ke salah satu koran terbesar di Perancis. Seluruh eksemplar koran tersebut habis terjual ketika gambar-gambar ini dimuat.

Kesetiaan memang menyentuh relung hati, tak peduli siapa pelakunya. Bahkan, kisah Hachiko, anjing yang sangat setia menanti tuannya selama 10 tahun di Stasiun KA Shibuya, Tokyo, sangat melegenda. Hachiko tidak tahu bahwa Profesor Ueno, tuannya, telah meninggal di kampus tempatnya mengajar. Ia terus menjemput ‘tuannya yang hilang’ selama bertahun-tahun sampai ajalnya sendiri tiba. Patung tembaga Hachiko sekarang menjadi monument ‘kesetiaan’ di stasiun tersebut.

Kisah kesetiaan, apalagi harus berakhir dengan perpisahan, selalu membuat air mata saya merebak. Tapi mengapa saya harus mengambil ilustrasi hewan sebagai ‘wajah’ kesetiaan? Sebab, bila itu dilakukan manusia, tentulah wajar. Kita punya akal dan nurani. Sedangkan hewan, yang hanya memiliki hawa nafsu, dari mana ia belajar arti setia?

Namun, di sinilah masalahnya. Sesuatu yang wajar ternyata tidak otomatis mudah didapat. Kesetiaan manusia sering tercampuri oleh berbagai kepentingan untung rugi, karena akalnya tahu untung itu enak dan rugi itu tidak enak. Keuntungan versi pikiran seringkali mengalahkan nurani. Jadilah kesetiaan semakin sulit ditemui dalam jiwa manusia kini.

Padahal orang yang sangat tidak setia sekalipun, tetap ingin diberi kesetiaan. Bahkan Allah swt saja sangat gembira mendapati hamba-Nya yang kembali setia pada-Nya, melebihi kegembiraan seoran musafir yang menemukan kembali untanya yang hilang.

Kesetiaan cepat atau lambat akan melahirkan banyak kebaikan. Ia bisa menumbuhkan semangat, cinta, rindu, kepercayaan diri, dan loyalitas seseorang untuk kita. Bahkan kepedihan pun akan menjadi sangat agung, ketika takdir menentukan kesetiaan harus terpisahkan maut.

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS Al Fath [48] : 10)

Jika memang ganjaran kesetiaan begitu indah, mengapa harus sulit untuk bersikap setia? Bukan hanya bagi pasangan, orang tua yang tak pernah pamrih, perusahaan yang member gaji walau kerja tak maksimal, negara tempat kita berpijak, bahkan Tuhan semesta alam menanti kesetiaan kita dengan imbalan yang tidak tanggung-tanggung : kenikmatan hidup di dunia dan akhirat.

Mari berusaha setia pada janji yang pernah tercetus, pada kebaikan perilaku yang telah kita rintis, dan pada kemuliaan ibadah yang mulai meningkat. Sehingga tak pernah akan terucap dari lisan kita, “Dulu ibadahku (atau kecintaanku padanya) lebih baik dari sekarang.”

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am [6] : 162)

Dikutip dari Majalah Ummi edisi September 2010

Sinta kecil, riwajat tempo doeloe...

20.33 by Sinta_Fabriela 0 komentar
             Aku terlahir dari kedua orang tua yang merupakan pilihan Allah dimana aku tidak dapat memilihnya sendiri dan begitupun yang terjadi pada semua orang. Aku sangat bersyukur pada Allah bisa memiliki keduanya hingga sekarang. Mereka sangat kusayangi dan begitupun sebaliknya.

            Sedari lahir aku termasuk anak yang jarang sakit. Walaupun sejak dulu badanku itu termasuk kecil, namun Alhamdulillah, aku diberi kesehatan oleh-Nya. Kalau kita sering melihat anak kecil / balita yang ingusan atau demam kejang2, maka Alhamdulillah tidak demikian dengan aku. Ini dari hasil wawancaraku dengan kedua orangtuaku.

           Namun, biasanya memang setiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihan masing2. Entah kenapa, sering ketika hbs makan malam (saat aku masih bayi) kemudian tidak lama setelah itu tidur malam, di tengah2 nyenyaknya ortu tidur, eeeh tiba2 si Sinta kecil memuntahkan makanan dinner tadi. Kasur yang semula bersih harus digulung diganti yang baru, Sinta harus diberi lagi asupan makanan agar tidak kosong perutnya. Mungkin memang perutnya Sinta kecil kali ya jadi diisinya jangan banyak2, yang penting rutin. Atau saat itu asam lambungnya lg naik ya…? Aduh, ternyata repot ya menjadi orang tua.

           Waktupun berjalan, Sinta kecil perlahan tumbuh menjadi anak yang lincah dan periang. Oya plus ceriwis, kata tukang sate yang sering lewat rumahku. Alhamdulillah memang aku jarang sakit. Tidak ingusan seperti anak kecil pada umumnya. Namun repotnya, wuih.. klo makan itu lho. Ditawari ini ga mau, itu ga mau. Habis makan sering dimuntahin lagi, atau bahkan mau masuk mulut aja susah karena tidak suka menu-nya. Sampai Bapak pernah bilang “Wis, Sinta kepingin ma’em apa wis Bapak pundhutke”. Ahaa… ini dia yang kutunggu2, langsung deh kusebut makanan kesukaanku waktu itu. “Bakso ya Pak.” Kataku sambil tersenyum polos seperti senyum anak kecil pada umumnya. Bapak pun segera pergi membeli bakso, demi memenuhi isi perut anaknya.

            Lain hari lain menu lagi. Pada suatu hari berkatalah Sinta kecil, “Pak, kae ana sate.” Kataku merujuk malu2. “Endi?” tanya Bapak. “Kae lho neng njobo… Te.. sate…” jawabku sambil menirukan gaya tukang sate yang sepertinya mau lewat depan rumahku. Tidak lama kemudian Bapak keluar memanggil tukang sate itu. Sambil si tukang sate memanggang sate pesananku, aku tanya2 terus ke Bapak. Tentang arang-lah, tentang kipas-lah dll. Makanya kemudian sampai si tukang sate bilang, “Putrane ceriwis nggih Pak”. Hehe.

            Jika aku coba ingat2 menu apa saja yang menjadi kebiasaanku dulu yaitu : mie instant, bakso kuah, sate ayam, ayam goreng, ayam goreng bacem, sop ayam, telur dadar, bakso goreng, tempe goreng, udah kayaknya itu. Dan biasanya mie instant-lah yang menjadi top of the week, hmm… padahal ga baik lho ya makan mie terus. Sampai saudara2 di luar kota bs hafal ik klo Sinta itu sukanya emie-emiiie terus…

            Jadi deh badannya kayak emie, kurus gt. Eh tapi jgn salah, kalau di SD nih ya waktu pelajaran olahraga, aku jadi atlet perempuan terbaik no.2 di kelas, ya lari, ya loncat tinggi, ya balapan apa lagi dll. Mungkin karena saking entengnya kali ya badannya jadi mudah terbawa angin keberuntungan, hihihihi… Hmm.. mungkin karena dibiasakan oleh orang tua untuk banyak minum air putih kali ya jadi racun2 dalam tubuh lebih mudah untuk larut dan itu yang menyebabkan badan jadi seger dan fit. Selain itu juga dengan makan teratur 3 kali sehari.

            Satu lagi makanan yang penting yaitu buah dan juga susu sebagai penyempurna makanan. Aku termasuk anak yang tidak tertarik untuk makan (dulu lho), apalagi buah2-an. Sampai Bapak atau mama dengan telatennya mengupas mangga, jeruk dan pepaya untuk kemudian diantar secara special sampai ke gerbang mulutku. Waaaah… I love U Dad.. Mom.. masa indah waktu kecil… Tapi kalau untuk susu, karena aku suka, maka aku sudah bisa mandiri untuk membuatnya.

            Eits tapi semua itu bukan tanpa syarat lho. Karena Bapak sdh mau menuruti keinginanku membeli makanan yang aku sukai (yang diterima oleh mulut dan kerongkonganku, red.) maka akupun diminta untuk patuh pada nasehat ortu. Diantaranya adalah tidak boleh jajan Chiki dan sejenisnya, es, permen2, dll. Pada saat itu mereka memberitahukan konsekuensi yang akan didapat jika suka jajanan yaitu bisa sakit, batuk, pilek dan gigi-nya ompong krn suka permen2, hahaha. Karena alasannya bisa diterima logika maka akupun tidak keberatan dengan peraturan itu. Klopun jajan yang seperti itu ya sesekali boleh lah dlm kurun waktu yg cukup lama. Peraturan lain ada lagi, yang intinya adalah kalau dinasehati ortu diusahakan nurut.

            Nah itu dia sekilas mengenai masa kecilku. Lain dulu lain sekarang lho. Mulai SD kelas 5, makanku sudah mulai banyak dan mau macam2, tidak seperti ketika balita dulu maunya hanya yang disukai saja, kayak orang ngidam. Apalagi sejak SMP karena sering jalan kaki jauh dan jalan2 ke mall, porsi makan siang menjadi banyak dan pada masa SMP itulah badanku sdh mulai mending, nambah beratnya dan nambah tingginya. Tp ya karena nambah beratnya ga byk, lbh byk ke tingginya, ya tetep aja kelihatan kurus.

            Karena aku pada dasarnya adalah orang yang pekewuh-an kalau minta2 ke orang tua. Ga enak kalau merepotkan, dan ya untuk pengiritan keuangan-lah (ceile… kecil2 aku sdh bisa ngirit lho, sejak SD nih) juga karena aku tidak mau dibilang anak yang manja, sedikit2 minta dibelikan sesuatu. Maka beranjak besar pun aku selalu berusaha makan apa yang telah disediakan mama di meja makan. Berbagai macam sayur aku lahap, tomat di-gado-pun aku doyan, kol sebagai lalapan pun oke. Sampai sekarang. Kecuali sayur pare dan sayur daun pepaya, wuih pait… jd aku kurang doyan.

            Yah mulai SD itulah aku sdh tidak banyak permintaan untuk dibuatkan menu makanan ini atau itu. Jajanan diluarpun juga aku jarang. Kalau tidak karena adekku yang minta, maka aku tidak akan meminta duluan. Jadi karena adek permintaannya lumayan banyak, jadi deh aku kecipratan. Kan yang namanya rejeki ga akan kemana… iya tho…? Hehehe.

Antara Hati dan Hati

19.59 by Sinta_Fabriela 0 komentar
Bagai penyair yang pantulan kata-katanya melampaui arti, nasihat seorang murobbi menjadi begitu bermakna ketika ia menyampaikannya dengan hati. Tidak cukup juga ketika hanya dari hati, namun akan lebih bermakna ketika memang ia memahami sepenuhnya (sesuai Al Quran dan As Sunnah) dan berusaha mengamalkan apa yang diucapkannya. Sehingga yang diupayakan bukanlah memunculkan di permukaan sebuah kebaikan yang tanpa memandang hal itu secara aplikatif telah diusahakan. Walaupun semua tau bahwa kebaikan itu ada prosesnya. Paling tidak, yang tersampaikan adalah dari hati, karena yang berasal dari hati, akan sampai ke hati.

Seperti menyiapkan ruang selapangnya di dada ketika telah menetapkan diri sebagai seorang dai/daiyah. Harus tetap semangat walaupun ketika di awal-awal perjumpaan hanya segelintir yang datang. Atau dengan berbagai alasan izin yang kemudian membuat mutarobbi tidak hadir. Maka disini dibutuhkan ta’liful quluub (ikatan hati) diantara mutarobbi dengan sesamanya terlebih antara mutarobbi dengan murobbinya. Karena dengan itulah yang dapat membuat mereka nyaman berinteraksi serta rindu kembali ke dalam forum halaqoh insya Allah.

Menjadi seorang murobbi atau jika bisa digeneralisir yaitu sebagai seorang guru yang mempunyai tugas mendidik dan mengajar memang bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Karena, seorang guru dituntut untuk bisa membantu murid memahami sebuah materi dan mengawal mereka dalam pencapaian jati diri yang luhur. Idealnya menjadi guru memang bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual.

Adalah hati yang rendah, pondasi bagi pendidik dalam setiap perjalanannya menyemaikan bait-bait ilmu kepada muridnya. Karena jika merujuk kepada panduan Ilahiah sesuai yang dicitrakan Tuhan, tentulah kita bisa menemukan sebuah potensi yang luar biasa dahsyatnya. Mungkin seseorang tersebut belumlah menjadi seorang yang ahli ibadah dalam artian ibadahnya cukup dan sedkit lebih dengan tambahan sunnah, namun belum sebaik dan sebanyak ibadahnya Nabi dan para sahabat. Akan tetapi salah satu yang dapat menjadikan manusia itu hebat adalah hati yang dimilikinya.

“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati.” (HR Bukhari).

Kemudian dari hati yang baik dan bersih itulah bisa memunculkan beragam energi positif yang hasilnya adalah akhlak dan perbuatan yang mulia. Mengutip juga sebuah hadits yang bisa menjadikan kita berintrospeksi diri. “Janganlah kalian banyak bicara tanpa pernah berzikir kepada Allah. Sebab yang demikian itu akan membuat hati menjadi keras. Dan sesungguhnya manusia yang paling jauh dari cahaya Allah adalah orang yang memiliki hati yang keras.” (Hadis Riwayat At-Tirmidzi).

Hadits tersebut berkaitan dengan hati seseorang yang jika dirutinkan dengan dzikir kepada Allah maka akan selalu dipenuhi oleh cahaya dan petunjuk-Nya. Ini akan berkaitan sekali dengan apa yang kemudian keluar dari lisan dan ekspresi seseorang. Sebagai seorang guru, hal ini sangat penting diketahui karena akan berdampak kepada pola pengajaran dan penyerapan ilmu pada murid.

Jika seorang guru senantiasa berkata-kata dengan bahasa yang baik, sopan dan lembut, walaupun dalam hati sedang menyimpan kesedihan/kekesalan, niscaya murid akan merespon dengan baik pula. Tak ada tekanan dan tidak ada rasa takut menghantui dirinya. Apalagi bagi murid yang baru saja mengenal gurunya. Sebaliknya, jika guru memasang raut muka judes/angkuh, serta kata-katanya keras, bisa dipastikan detak jantung si murid menjadi bergemuruh tak karuan. Tak akan lagi bisa berpikir dengan jernih pada materi yang disampaikan. Dalam keadaan demikian, yang ada dalam benak si murid adalah ingin segera mengakhiri perjumpaan itu dan jika sudah berakhir, maka pertemuan2 selanjutnya pun tak dirindukan atau bahkan bisa saja dihindari.

Sebenarnya hal ini terkait juga dengan karakter bawaan seseorang yang pastinya berbeda-beda. Atau dialek daerah yang bermacam-macam. Akan tetapi, sebaiknya tidak lantas mengkambinghitamkan karakter bagi yang memang agak sulit untuk berlaku lembut dan santun terhadap orang lain. Seorang guru memang harus tegas, tapi tetap dengan kasih sayang dan kelembutan seperti yang dicontohkan Rasulullah. Memang ada Umar bin Khaththab yang dengan ketegasannya sampai membuat setan takut padanya. Namun Umar juga merupakan sosok didikan Rasul yang mengajarkan tazkiyatun nafs di kesehariannya. Sehingga apapun karakternya, minumannya adalah dzikrullah yang bisa membuat hati menjadi bersih dan selalu dalam cahaya-Nya.

Perlu diluruskan pula bahwa lembut yang dimaksud bukan hanya berarti lemah lembut/kalem dan pelan. Lebih luas dari itu, karena yang dimaksudkan disini adalah cara2 penyampaian materi dengan akhlak yang baik, intinya itu. Ada saat2 dimana sebuah materi perlu diberi penekanan dengan ekspresi guru yang lebih powerfull. Atau mungkin dengan kisah yang mengocok perut. Sedangkan ketika sampai pada masalah2 syariat dan tauhid maka ketegasan dan kejelasan bisa terlihat dari gaya bicaranya yang lebih serius.

Adakalanya memang seorang guru memberikan brain-storming yang bisa membuat murid menjadi kaget, tentunya dengan niat dan tujuan yang baik. Namun dengan segala kebersihan hati ketika menyampaikan (guru) dan ketika menerimanya (murid), serta selalu ber-khusnudzon dan terutama bagi sang murid untuk mengingat rendah hati dalam mencari ilmu, fainsya Allah keharmonisan diantara mereka bisa tetap terjaga.
Apa yang berasal dari hati akan masuk ke hati. Dengan izin Allah, jika keduanya (murid dan guru) senantiasa berusaha untuk menjaga hatinya maka akan lebih mudah bagi mereka mencapai ta’liful quluub. Amin, insya Allah.

Setia sampai tua, pada-Nya dan padanya…

Rabu, 05 Mei 2010 01.34 by Sinta_Fabriela 0 komentar
Kulipat sajadahku selepas salam dan doa. Kemudian aku mulai beranjak dari tempat semula aku shalat maghrib di sebuah masjid yg indah di perumahanku. Setelah beberapa langkah aku berjalan dan belum sampai keluar dari masjid aku melihat seorang ibu2 yg sudah tua, lebih tepatnya dipanggil nenek. Beliau sedang berdiri didekat pintu keluar. Kuperhatikan erat-erat. Nampak banyak sekali keriput di wajahnya dan sudah tidak berdiri tegap badannya. Kalau ditaksir mungkin 80 tahunan usianya. Tatapan matanya menunjukkan ketenangan, teduh dan tidak nampak sedang terbebani oleh pelbagai masalah hidup. Hanya saja aku menangkap sesuatu yang sedang ditunggu oleh nenek itu. Kalau kukira beliau sedang mencari sandal, mengapa nenek itu tidak segera mencarinya padahal jamaah yang lain belum ‘berebutan’ untuk mencari sandal? Karena penasaran maka sengaja kuperlambat jalanku dan berpura-pura sedang ngapa2in lah pokoknya agar bisa lama dan aku tahu jawabannya.

Tak berapa lama kemudian, ooooh… ternyata nenek itu sedang menunggu seseorang dari arah jamaah laki2, karena kemudian kulihat sosok seorang kakek berjalan menuju ke arahnya. Kemudian mereka bersama mencari sandal masing2 dan kemudian berjalan bersama untuk pulang. Subhanallah… sebuah pemandangan yang indah kurasa. Dan ternyata itu tidak hanya terjadi satu dua kali saja, namun berkali-kali. Wah… so sweat sekali… Padahal dengan usia sesenja itu tidak banyak yang masih bersemangat untuk kemasjid, namun tidak untuk sepasang suami istri yg sudah lanjut usia itu. Kejadian itu cukup bisa menandakan bahwa kehidupan rumah tangga mereka masih langgeng sampai pada usia mereka sudah lanjut. Semoga kelak aku dan suamikupun bisa seperti itu… =)

Waktupun terus berjalan. Setelah selang waktu yang cukup lama aku tidak shalat berjamaah dimasjid, pada suatu hari aku ingin lagi berjamaah di masjid yang bersih dan luas itu. Saat bersama2 jamaah lain beranjak pulang, sebuah pemandangan asing mengagetkanku. Kulihat kakek yg biasa berangkat bersama istrinya itu duduk di kursi roda setelah sampai di halaman masjid. Kemudian didorong oleh anak lelakinya yang dia sendiri sdh pny cucu (klo begitu kakek itu sdh pny cicit). Pikiranku sudah mulai kemana-mana mencari berbagai kemungkinan mengapa kakek itu memakai kursi roda sekarang? Tidak lama kemudian kudengar seorang bapak2 menanyakan kepada kakek itu mengapa sekarang memakai kursi roda.

“Lho.. Eyang sekarang pakai kursi roda ya?” tanya seorang bapak2 jamaah masjid.
“Oh, ini biar Bapak tidak kecapekan jalan Pak” jawab anak lelaki kakek itu.
Kalau untuk berjalan di dalam masjid dan berdiri untuk shalat saja sepertinya kakek itu masih sanggup. Namun untuk berjalan pulang-pergi kemasjid sepertinya memang butuh kursi roda agar kakek tidak kelelahan. Karena perhatian sang anak maka diputuskannyalah untuk setia mendorong ayahnya dari rumah menuju masjid.

Subhanallah… Karena kecintaan dan kesetiaan yang tinggi kepada Allah serta kerinduan untuk senantiasa mendatangi rumah Allah itulah yang kemudian membangkitkan semangat seorang kakek dan nenek tua tersebut untuk rajin shalat berjamaah dimasjid. Dan dengan semangat birrul walidan yang tulus, maka seorang anakpun rela mendorong kursi roda ayahnya setiap kali si ayah hendak ke masjid untuk shalat berjamaah.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al Israa’ 17 : 23).

Sebuah pemandangan kehidupan yang membuatku bisa terharu setiap kali aku kemasjid. Belum lagi ketika memperhatikan derap langkah kakek dan nenek itu saat berjalan bersama… kecepatannya tidak lebih dari sepertiga derap langkah kakiku saat berjalan. Pelaaaan sekali… Ya Allah… rasa-rasanya ingin sekali aku memeluk mereka sebagai tanda kasih sayangku yang langsung kuberikan walaupun pada saat itu baru beberapa kali bertemu. Dan terus teringat doa keselamatan untuk mereka, terutama agar diberikanNya khusnul khotimah jika kelak mereka dijemput Allah. Amin Ya Allah.

Jeda beberapa pekan lamanya aku tidak kemasjid, keinginan untuk jamaah di masjid muncul kembali. Ini mengingat aku adalah seorang perempuan, maka sengaja tidak kubuat sering2 aku shalat jamaah dimasjid karena tempat palling baik bagi shalat seorang perempuan adalah dikamarnya. Namun aku juga tidak mempersulit atau mengekang diri untuk selalu dirumah. So its easy going. Lama tidak kemasjid, ketika kemasjid bertemu kembali dengan si nenek. Eh ketemu si nenek… Alhamdulillah masih rajin aja tu nenek, batinku. Lalu kusempatkan untuk menjabat tangannya saat akan berjalan pulang. Dengan seluas senyum yang kuberikan aku tidak menyangka kalau akan dibalas dengan senyuman yang renyah sekali seperti itu. Wuiih.. jadi kebayang kalo aku masih punya nenek… bakalan di’sangu’ni duit terus nih klo pulang ke desa… he2.. Tidak ada yang berubah pada nenek itu. Dalam derap langkahnya…. Pelaaaan sekali.

Pejuang - pejuang itu...

Aku pernah melihat raut wajah seorang pejuang, yang tatapan matanya penuh cita-cita untuk terus memberikan yang terbaik pada orang lain. Mereka adalah orang-orang yang dirindukan dan yang dibutuhkan kehadirannya. Hingga selepas hidupnya pun tetap dikenang. Salah satu yang akan kukisahkan adalah almarhum Pakde (beserta keluarganya) yang beliau adalah sepupu dari ibuku. Keluarga Pakde hidup bersahaja dan oleh karenanya termasuk menjadi panutan masyarakat. Aku yang sudah tidak punya kakek dan nenek merasa mendapat kasih sayang dari Pakde dan Budhe seperti dari sepasang kakek dan nenek sendiri. Mungkin karena usia mereka yang sudah kepala 6. Dan aku yang tidak punya kakak (karena anak pertama) merasa punya kakak dari putra-putri Pakde. Indah rasanya.

Semasa hidupnya, Pakde dan Budhe banyak memberi manfaat untuk warga disekitarnya. Salah satunya yaitu mengajar ngaji anak-anak kecil selepas maghrib dirumahnya. Biasanya Pakde, Budhe, adiknya Budhe (saat blm menikah), dan putra-putri Pakde-lah yang mengajar. Tp ya fleksibel dan gantian, klo putra-putri Pakde sdh plg dr kantor mereka baru bisa membantu. Aku yang beberapa kali mampir setelah pulang kuliah juga diminta membantu mengajar ngaji. Wah rame banget, ternyata susah ngajari anak2 ttg tajwid dan makhroj yg benar, lha hurufnya saja mereka masih suka lupa, hehe. Ya jelas lah ya orang msh kecil2. Eh tapi ada juga anak kls 3 SD yang cepat daya tangkapnya.

Pakde dan Budhe juga mulai merintis pengajian untuk ibu-ibu sekitar rumahnya. Disana blm terbentuk organisasi ibu-ibu pengajian seperti di perumahan2 yang pendidikan warganya tinggi2. Anak-anakanya tidak semua diajari mengaji, bisa jadi karena orang tuanya tidak semuanya bs mengaji atau karena kurang ‘bersemangat’ membekali anak2nya ttg ilmu agama. Bahkan ada yg sampai kena korban kristenisasi. Tp Alhamdulillah klo keluarga Pakde termasuk keluarga yg taat beragama dan beliau berhasil menyekolahkan ke3 anaknya sampai ke perguruan tinggi.

Pakdhe dan Budhe yg keduanya berasal dr Magelang dan termasuk pendatang di Semarang harus pelan2 menyesuaikan budaya dilingkungan barunya. Pengajian ibu-ibu sepekan sekali itu baru bisa dilakukan dirumah Budhe, terus dilakukan dirumah Budhe. Sehingga yang membuat aku salut yaitu beliau dengan telatennya mengagendakan, menjemput bola dan mengikhlaskan untuk memberi suguhan tiap pekannya. Jadi ibu-ibu yg datang tidak merasa terbebani jika suatu ketika harus digilir dirumahnya dan mengeluarkan biaya untuk menjamu tamu. Sedangkan untuk pengisinya, Budhe cukup punya referensi kenalan pembicara/ustadzah, atau terkadang belilau sendiri yang mengisi.

Pakdhe dan Budhe keduanya memang berlatar belakang sebagai guru. PNS. Dulu ketika putrinya masih SD, putrinya itu sering mengajak sahabat2nya u/belajar bersama sepulang sekolah. Sehingga Budhe terbiasa memberikan les gratis dirumahnya. Ya itung2 sambil nungguin anaknya belajar, sambil ngajari anak orang kan bisa dapat pahala. Salut deh, keluarga yang akademis klo kulihat. Kalau Pakdhe, beliau adalah guru SMK yang sampai akhir masa pensiunnya masih diminta sekolah untuk masih tetap mau mengajar. Karena kekurangan guru di sekolah itu. Dengan jiwa besar, selama 2 tahun lebih beliau masih mau mengajar di sekolah itu walaupun statusnya sudah pensiun. Subhanallah.

Klo tentang putra-putri Pakde, pelajaran yg bisa kuambil dari mereka yaitu mereka suka membaca dan mengoleksi buku-buku, pembelajar, ada yg suka melukis dan berwirausaha (mulai dari kos-kosan, warnet, kerudung, batik, tp sekarang yg eksis yaitu kos-kosan dan warnet saja).

Pada suatu hari, Pakde sakit. Beliau tidak selincah dan seramah biasanya ketika aku datang. Lebih banyak diam. Aku sudah merasa ada yang tidak enak, seperti sebuah firasat, namun hanya terlintas dan kemudian terlupakan, ya sudah begitu saja berlalu. Hari berganti hari sakitnya tambah parah karena sebelumnya dlm keadaan sakit beliau masih berusaha membetulkan genteng dan sempat terjadi keseleo/slh urat. Hingga suatu hari kuterima kabar bahwa beliau sudah dipanggil Allah SWT. Beliau meninggal dalam usia 63 tahun, sama seperti Rasulullah SAW. Semua merasa kehilangan.

Sebelum menutup mata beliau sempat berpesan pada istrinya kalau beliau meninggal nanti tidak usah diadakan pengajian peringatan 40 hari atau 100 hari walaupun dari masyarakat sudah terbiasa dengan hal itu. Beliau sudah berpesan bahwa boleh ada pengajian tapi sampai 3 hari saja dan bukan yasinan dan tahlilan seperti kebiasaan masyarakat, namun membaca Al Quran masing2 orang 1 juz/ khataman Qur’an dan dilanjutkan dengan tausiyah.

Begitu berhati-hatinya belliau sehingga ingin memberikan contoh pada masyarakat bahwa ketika melaksanakan sebuah kegiatan keIslaman hendaknya seperti yang dicontohkan Nabi. Ittiba’ Rasul. Selain itu juga mencerminkan kesederhanaan dengan hanya pengajian 3 hari (tidak 7 hari serta tradisi 40 hari dan 100 hari seperti masyarakat kebanyakan). Sedangkan dalam 3 hari pengajiannya itu, tausiyah yang diberikan oleh pembicara juga berisi nasehat pada masyarakat bahwa tradisi 7hari/40 hari/100 hari seperti di atas bukan merupakan suatu keharusan yang dilakukan masyarakat dan tidak dicontohkan oleh Nabi. Dengan bahasa yang santun dan komunikatif, hal ini perlu disampaikan karena dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat yang berbeda2 ekonominya, selain karena Ittiba’ Rasul juga tentunya. Tema lain yang disampaikan yaitu juga mengenai iman kepada takdir dll. Nah disinilah point penting dakwah Islam yang beliau usahakan bahkan ketika beliau meninggal. Menyampaikan kemurnian ajaran Islam berdasar Al-Qur’an dan Sunnah.

Setelah Pakde meninggal, seorang putranya menemukan sepotong kertas bertuliskan terjemah surat Al Maidah ayat 3 yang ditulis oleh Pakde, yang berbunyi : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Surat itu merupakan wahyu terakhir yang diturunkan Allah kepada Muhammad. Ternyata saat hampir meninggal, beliau sudah merasa akan dipanggil di usianya yg ke 63. Seolah seperti telah lega setelah menerima wahyu terakhir dari Allah yang mengabarkan bahwa telah disempurnakan agamanya. Semoga ini menandakan bahwa Allah telah memberikannya Khusnul Khotimah. Sehingga semoga kelak Allah berkenan memasukkan Pakdhe kedalam surga. Harapanku juga, semoga Allah membalas kebaikan Budhe dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Karena tidak akan berkurang harta yang pernah disedekahkan, justru akan ditambah dan digantikan oleh Allah Yang Maha Kaya dan Luas Rezeki-Nya. Amin.

Semoga kisah ini menginspirasi kita semua untuk terus berbuat kebaikan dan istiqomah di jalan dakwah walaupun tantangan selalu datang. Insya Allah.

Tentang SMS yang TIDAK DIBALAS

20.58 by Sinta_Fabriela 0 komentar
Beberapa jam yang lalu sebelum membuat tulisan ini, aku tertegun melihat kenyataan bahwa kini aku tau ternyata dulu si fulan berfikir seperti itu. Berusaha memutus sebuah komunikasi dengan seorang akhwat yang dia fikir “komunikasi ini sepertinya salah”. Atas nama dakwah yang terselip niat untuk mencoba membuka kembali komunikasi yang sudah lama terputus. Itu yang ada difikirnya. Sehingga dengan sengaja tidak membalas sms dari seorang akhwat, yang padahal menurut si akhwat sms itu adalah penting.

Padahal tidak terbersit juga di benak si akhwat kalau komunikasi itu adalah untuk “memperbaiki kembali silaturahmi” antara mereka yang sudah lama tidak dilakukan. Jadi ya memang pure untuk membahas qodhoya dakwah, apalagi krn permasalahan itu sudah lama tidak dibahas, seakan terlupakan karena kesibukan akademik masing-masing. Apa mungkin bahasa smsnya ada yg kurang tepat ya? bs jadi ada salah kata shg membuat salah penafsiran. Wallahu a’lam, tp tetaplah berpositif thinking. Memanusiakan manusia.

Nampaknya ini menjadi permasalahan penting yang harus kubahas disini. Aku jadi teringat ketika dulu banyak adek2 akhwat mengeluhkan ikhwan2 padaku. Yaitu karena smsnya tidak dibalas padahal isi smsnya penting dan mendesak. Sudah dikirim berkali2 juga tidak dibalas. Ada akhwat yang sampai khawatir kalau smsnya ke ikhwan tsb malah dikira ajang pdkt. Fikir si akhwat yaitu si ikhwan tidak balas sms karena ingin menjaga hati dan menyangka kalau si akhwat “ada apa-apa” dengan si ikhwan. Waduh…duh…duh.. benar juga. Jangan2 para ikhwan yang tidak balas sms itu pada GR dan berasa jd seleb krn dikejar2 fans atau merasa diganggu paparazi, hehehe. Namun kami tidak kemudian setega itu bersu’udzon.

Aku sebagai yang dituakan harus bisa meredam rasa geregetan mereka. Harus bisa menetralisir keadaan, bukan malah menambah panas, walaupun sebenarnya aku sendiri juga rada geregetan. Kami terus beristighfar dan mencari seribu kemungkinan. Oh mungkin dia sedang tidak punya pulsa (walaupun kami tau si ikhwan kondisinya cukup “berada”). Oh mungkin dia sedang tidur (walau kami tau sms yg kami kirim tidak pada jam malam). Oh mungkin dia sedang sibuk, mungkin baru dibalas nanti, tunggu saja (walau pada akhirnya sms kami juga tidak dibalas, dan kami terlalu lelelah menunggu). Oh mungkin dia sedang banyak pikiran dan amanah jd belum bisa menanggapi, dan lain sebagainya. Pernah beberapa saran terlontar, “Ya sudah di telp saja, dia maunya tu ditelpon”. Namun ternyata beberapa akhwat itu ada yg gengsi. Eh tapi juga ada yang karena pulsanya hanya cukup untuk sms, tidak sanggup kalau telepon. Kasian kan?

Kejadian seperti ini tidak hanya sekali kualami dan tidak pada satu tempat saja. Baik yang di DK maupun di DS. Pun sampai saat ini aku sendiri sering gemas kalau sms penting tapi tidak dibalas. Tapi beberapa diantara akhwat itu juga melapor padaku bahwa kalau si ikhwan itu di sms yang tidak penting malah dibalas, kalau yang penting malah didiemin. Ealah, lha klo gini mungkin karena ikhwan2 itu menjadi tertekan klo disms akhwat yang memaparkan amanah2 dan agenda2 dakwah yang harus segera ditunaikan karena dikejar deadline. Maklumlah, kdg akhwat itu klo bicara/sms ada yang kesannya galak, nadanya mendesak atau menggurui, bahkan memaksa, hehe… Ada juga yang bernada marah fikir si ikhwan, padahal sbenarnya si akhwat tidak marah. Yaah mungkin bisa dibilang lebih ekspresif bahasanya, se-ekspresif hatinya. Karena memang ikhwan dan akhwat itu punya sisi2 perbedaan jadi butuh komunikasi yang baik.

Ada lagi yang karena gengsi / tidak berani / malas untuk telepon si ikhwan dan memutuskan untuk menunggu balasan saja, kemudian berfikir bahwa kalau sampai si ikhwan tidak balas sms, padahal penting, maka memang ikhwan tersebut “Kurang mewanitakan wanita” atau “tidak professional” atau “tidak peka” dll (klo sm2 gengsi lha kapan ketemunya ya?). Tapi kalau akhirnya si ikhwan balas, berarti dia termasuk orang yang bijak dan menghargai orang lain. Sesibuk Rektor Udinus saja ketika di sms, beliau masih menyempatkan untuk balas dan balasnya pun tidak lama. Jadi si akhwat ngetes si ikhwan ni, hehe.

Ada juga kekhawatiran dari akhwat kalau sering2 sms ikhwan nanti dikira tidak menjaga hati dan bukan seorang akhwat yang shalihah. Padahal si akhwat inginnya juga menjaga hati & hijab. Ya sebenarnya kebetulan saja si akhwat menjabat sebagai koordinator para akhwat alias ketua annisa atau sebutan lainnya, jadi ya memang butuh koordinasi kan? Sedangkan pada posisi ikhwan bisa saja mereka berfikir, “Ah, dia tidak shalihah, kurang menjaga hati dan hijab krn sering sms / telp, bgmn dakwah ini bs maju? aku mau cari yang shalihah dan pandai menjaga diri saja ahh…”. Ini bukan sinetron dan bukan rekayasa, apalagi termehek-mehek, hehe… namun ini adalah sebuah fenomena yang coba sy paparkan dan kemudian akan sy coba usulkan rekomendasi perbaikan (wah kayak sidang umum aja nih).

Namun sebelumnya, ada kisah lucu yg akan kuceritakan sebagai penutup dari kasus2 ini. Ada seorang akhwat yang menelepon ikhwan untuk menanyakan suatu hal. Lama telepon itu tidak diangkat2. Setelah dering panggilan di hp si ikhwan itu berakhir, tiba2 dering sms di hp si akhwat terdengar. “Maaf, sms saja.” Singkat dan terkesan dingin sms dr si ikhwan. Langsung deh si akhwat sedikit “nggonduk”, aku sendiri begitu dengar cerita itu malah tertawa, krn ternyata ikhwan tersebut lebih memilih sms daripada telepon. Untuk menjaga hati kali ya. Hmm… bagus2… salut Akh… Akhirnya cara ini yang kemudian kucontoh jika ada telepon berbunyi dr hape-ku yang sudah kukira kalau yg dibicarakan akan ngalor ngidul dan sebagai cara pdkt. Dengan sedikit tambahan redaksi, lebih dipersopan dan tetap tegas, maka kuketik sms : “Maaf, td telpon ya? Ada perlu apa? Dismskan saja ya.” Diplomatis dan tidak ada unsur berbohong kan? Dan cara ini telah teruji kemanjurannya lho, hehehe…

Nah, dari permasalahan2 diatas, bagaimana cara menyikapinya? Sebelumnya, bagi teman2 yang kebetulan membaca tulisan ini, baik ikhwan maupun akhwat, sinta memohon maaf pada beberapa diantara kalian yang mungkin merasa dirinya dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini semata-mata aku buat untuk memperbaiki keadaan yang tentunya untuk kemaslahatan. Karena jika tidak ada niat kebaikan didalamnya, maka tulisan ini akan sia-sia dan aku yang akan kesulitan ketika mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah kelak. Jadi nih, saran dariku bagi para ikhwan maupun akhwat yaitu :
1. Meniatkan koordinasi semata karena Allah, ikhlas dan LILLAH, bukan lil-akh.
2. Menjaga hati dan hijab ketika koordinasi.
3. Menggunakan kata2/bahasa yang sopan dan seperlunya dan tidak dibuat2.
4. Terus berlatih untuk professional dan memahami amanah yang diberikan padanya, sehingga bisa baik dan beres dalam menjalankan amanah.
5. Berpositif thinking dan jadilah orang yang sabar.
6. Saling tolong menolong dalam kebaikan.
7. Peka pada permasalahan yang ada, saling memahami dan menghargai orang lain.
8. Mempunyai keinginan untuk sama2 berjuang dan mensukseskan dakwah Islam.
9. Berusaha untuk menjadi pejuang yang mau bekerja keras melayani ummat.
10. Usahakan segera membalas sms penting, jika belum sempat karena mungkin jawabannya panjang, untuk sementara dibalas dgn singkat : Maaf, nanti malam ya sy jawab, atau dengan bahasa lain yang menenangkan. Namun jika smsnya mendesak harus segera dibalas ya cobalah meluangkan waktu untuk mengetik sms, atau kalau mau cepat ya ditelpon balik. Karena kualitas informasi ditentukan oleh 3 hal yaitu : akurat, tepat waktu & relevan (menurut Jogiyanto HM dalam bukunya Analisa dan Perancangan Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur Teori dan Pendekatan Aplikasi Bisnis).

Itu dia 10 tips dari Sinta dalam menangani kasus diatas. Bagi teman2 yang mau nambahin boleh, silakan ditulis di comment. Oiya tp lain keadaannya jika saat sms masuk, hp sedang kita silent krn kuliah / hal penting lain dan posisinya kita tdk tahu, jd wajar kalau telat balas sms.

Lain juga ceritanya kalau isi sms antara ikhwan dan akhwat itu tidak penting dan malah ngalor ngidul. Ini yang harus diperhatikan untuk segera dihentikan. Harus ada yang dengan tegas mengingatkan kalau ada yang salah dalam koordinasi. Saling menasehati dan introspeksi diri. Insya Allah, semoga menjadi amal kebaikan. Wallahu a’lam bishshawab.